ASTRA MENOLONG HIDUPKU

Perkenalan pertama saya dengan ASTRA berawal lama sekali ketika masih anak-anak. Waktu itu kedua orangtua saya tanpa sadar selalu mendengung-dengungkan tentang kelebihan produk ASTRA. Karena itulah ketika saya bertumbuh dewasa dan harus memutuskan akan membeli kendaraan bermotor roda dua pertama, pilihan saya jatuh kepada Honda Supra X 125.

Kenapa saya pilih motor itu? Alasan utama adalah karena saya dari kecil sudah “diindoktrinasi” untuk menjadi seorang ASTRA lover. Dan alasan lain adalah saya membandingkan produk ASTRA dengan pesaingnya dan mendapati bahwa pilihan saya adalah yang terbaik di kelasnya. Dan pilihan saya tidak salah! Sekarang motor saya sudah berumur 11 tahun dan masih enak dipakai. Tentu saja ini tidak lepas dari kehandalan teknisi ASTRA di bengkel di mana saya secara rutin menservis motor saya. Keramahan yang didapat dalam pelayanan membuat saya selalu mempercayakan perawatan motor saya kepada mereka.

Mundur sedikit ke masa awal memiliki motor, saya pun merasakan keramahan dan keprofesionalitasan dari pihak leasing ASTRA. Kala itu sebagai seorang fresh graduate yang belum memiliki penghasilan besar, saya mengajukan kredit pemilikan kendaraan bermotor. Saya masih ingat dengan kemudahan dan bantuan dari petugas FIF waktu itu.

Saya rasa apa yang saya alami adalah sebuah wujud nyata dari filosofi perusahaan ASTRA:

Menjadi milik yang terbaik bagi bangsa dan negara
Memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan
Menghargai individu dan membina kerja sama
Senantiasa berusaha mencapai yang tebaik

Thomas Keneally pernah berkata, “Whoever saves one life, saves the world entire.” Bagi saya apa yang saya alami bersama ASTRA adalah bukti nyatanya. ASTRA secara tidak langsung telah menyelamatkan “hidup” saya. Bersama SUPRA X 125 saya sudah berkeliling ke banyak tempat, sebagian besar untuk urusan pekerjaan. Dengan dukungan kendaraan ini saya bisa menggolkan banyak peluang bisnis baru. Bahkan sampai sekarang ketika saya sudah berumah tangga, motor itu masih setia menemani saya mengantar anak sekolah, mengantar istri ke tempat kerjanya.
ASTRA benar-benar telah menolong hidup saya, karena itu tidak heran jika dalam skala yang lebih besar, ASTRA juga bisa menolong orang lain.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Pagi Itu …

 

Terbangun pagi itu seperti biasa oleh suara orang sibuk bekerja di dapur. Sambil tetap berbaring, aku tersenyum mendengarnya. Kau memang rajin. Kau selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan, menyiapkan air mandi, plus baju ganti.

Hmmm, aku mungkin wanita paling bahagia di bumi ini.

Harum. Apa yang sedang kau masak untuk hari ini sayang? Apakah nasi goreng spesial, atau hanya sekadar roti panggang dengan telor? Ah, apapun yang kau masak aku akan tetap memakannya dengan lahap.

Suara langkah kaki berjalan. Rupanya kau sudah selesai memasak ya. Aku masih tetap berbaring, membetulkan selimutku, berusaha berkompromi dengan kantuk yang menggayuti mata. Sejenak kupejamkan mata. Aku bisa mendengar langkah kakimu dan suara denting piring beradu dengan kaca meja makan. Aku membayangkan kau sudah selesai masak dan sedang menata meja.

Apakah kali ini kau akan menata meja dengan bunga segar? Atau hiasan-hiasan kecil? Atau mungkin polos saja? Ah, apapun itu aku akan tetap menyukainya.

Samar-samar terdengar suara sendok beradu dengan cangkir. Rupanya kau sedang menyiapkan kopimu. Aku bisa mencium harum kopi dari sini. Harumnya mengajakku untuk membuka mata walau masih terasa berat.

By the way, minuman apa yang akan kau sediakan bagiku pagi ini? Kau selalu mengatakan untuk setiap makanan spesial harus ada minuman spesial pula. Apakah kali ini teh? Atau kopi? Atau air jeruk? Atau hanya segelas air putih segar? Ah, apapun itu, aku akan tetap menikmatinya.

Sejenak tak terdengar suara apa-apa. Rupanya kau sedang menikmati kopimu ya. Kembali terdengar suar alangkahmu. Kali ini pasti menuju kamar mandi. Ya, benar kan. Suara air mengucur terdengar. Aku bisa membayangkan kau membuka keran, lalu mengambil handuk, dan baju ganti, lalu bersender di dinding kamar mandi, menunggui air penuh.

Baju apa yang akan kau sediakan bagiku hari ini? Katamu setiap hari aku harus mengenakan baju spesial karena tiap hari adalah hari istimewa. Apapun baju yang kau pilih, aku akan memakainya.

Suara air berhenti. Rupanya semua persiapan sudah selesai. Sekarang kau pasti akan berjalan ke kamar, dan dengan lembut mengecupku, sambil berkata, “Bangun cantik. Semua sudah siap.”

Ah, betapa bahagianya aku, tiap pagi menjalani rutinitas seperti ini.

Tapi, kenapa kau tidak muncul-muncul. Kenapa tidak terdengar langkahmu menuju kamar? Kenapa tidak ada kecupan. Kenapa? Dengan perasaan tak karuan aku bangun. Aku berlari ke dapur. Kosong. Ke kamar mandi, kosong. Ke meja makan, tak ada orang di sana.

Kemana dirimu pergi? Kenapa kau menghilang begitu saja?

Pelan-pelan aku menarik kursi dan duduk di meja makan. Kesadaranku pun akhirnya kembali kepada diriku. Ya, kau telah tiada. Kau baru saja pergi. Hari ini adalah hari kedua kepergianmu. Tapi bagiku kau masih tetap ada di sini. Masih melakukan  hal yang sama yang kau lakukan setiap pagi. Aku duduk, menatap kosong tembok di hadapanku. Air mata mengalir.

Mengapa cepat kau pergi meninggalkanku? Terlalu banyak kenangan tentangmu di rumah ini. Terlalu banyak langkah kakimu yang tak mungkin terhapus di rumah ini. Seandainya bisa, aku hanya ingin kau kembali, hanya untuk satu pagi, dan menyiapkan sarapan, air mandi, pakaian ganti, dan mengecupku seperti yang biasa kau lakukan.

Seandainya bisa …

 

Bandung 11 Mei 2013

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kenangan Tentangmu

Kata orang anak yang sudah dewasa akan meninggalkan rumah tempat dia dibesarkan. Dan rumah itu pun akan menjadi “sarang kosong” begitu sebutannya. Kembali ke “sarang kosong” setelah bertahun-tahun pergi membawa kembali berbagai sensasi perasaan yang kukira sudah lama mati. Aku berdiri di tengah-tengah ruang tamu, mengamati keadaan rumah yang kosong, dan berdebu.

Terputar dalam kenanganku benda-benda apa saja yang dulunya ada di sini. Di mana letaknya, warnanya, bahkan harumnya. Dan siapa yang pernah ada di tempat ini. Dirimu. Ya dirimu dan aku pernah ada di tempat ini. Bersama. Menghabiskan waktu. Melakukan banyak kegiatan bersama.

Aku melangkahkan kakiku ke pintu dekat ruang tamu. Kamar tidur. Kamar ini pun sekarang kosong. Tapi tidak begitu dalam ingatanku. Terlihat jelas dalam ingatanku bagaimana kau meninabobokanku di sini. Bagaimana kau menemaniku tidur di sini. Bagaimana kita bercanda di atas kasur. Aku pun beranjak ke dapur. Dimana kau pernah memasak buatku. Mulai dari masakan sederhana sampai masakan yang rumit. Dulu di depan dapur ada meja makan di mana kita selalu makan bersama. Walau itu semua masa lalu tapi terasa begitu nyata di pikiranku.

Sentuhanmu.

Cara bicaramu.

Aroma tubuhmu.

Caramu berjalan.

Semuanya terlalu nyata untukku walau kau tiada lagi di sini.

Ayah, rumah ini penuh dengan kenangan akan dirimu. Terlalu penuh malah. Terlalu penuh dengan kenangan akan kau yang selalu baik, yang selalu memanjakanku, yang selalu ada untukku.

Tapi kenapa, kenapa orang menyebutmu penjahat. Mereka membawamu pergi. Mereka menahanmu di balik terali. Mereka memukulimu. Kenapa mereka tidak mengenali kebaikanmu seperti aku? Kenapa mereka membiarkanmu mati di ruang sempit yang mereka sebut sel? Kenapa?

Tapi tak apa, biarpun bagi orang lain kau penjahat, bagiku kau tetap ayahku. Mungkin orang lain menyimpan kenangan kejahatanmu tapi aku akan tetap menyimpan kenangan manis tentangmu.

Selamat jalan ayah.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , , , | Meninggalkan komentar

IF I CAN TURN BACK THE TIME

If I can turn back the time, will I find you there?

“Maksudnya?” tanyamu tidak mengerti, sambil menutup buku yang sedang kau baca.

I miss you. Miss the old you.

“Maksudnya?” kali ini kau menaruh bukumu dan menatapku tajam.

“Kau berubah. Kau bukan lagi seperti kau yang dulu.”

Well, people change right?

“Yeah. Tapi aku tetap rindu dirimu yang dulu. Yang membuatku suka padamu.”

“Memangnya kau tidak suka padaku sekarang?” nada suaramu menunjukkan keheranan.

“Tidak begitu. Hanya saja, susah dijelaskan ya. Kau berbeda. Kau berubah. Kau … bukan lagi kau yang dulu.”

“Jelaskan.”

Sekarang nada suaramu semakin tajam, membuatku serba salah. Aku membetulkan posisiku sebelum menjawab.

“Kau yang sekarang memang lebih maju, lebih stabil, lebih sukses.”

“Bagus kan?”

“Ya, bagus. Hanya saja kau kehilangan your touch.”

My touch?” kau mengangkat satu alismu saat mengatakan pertanyaan itu.

“Ya.”

“Maksudnya?”

“Susah dijelaskan ya. Tapi ada sesuatu dari dirimu yang hilang. Sesuatu yang membuatku dulu suka.”

And that is my touch?

“Ya.”

“Oke.”

You know, kalau aku ditanya apa yang kuingat darimu, maka aku akan menjawab saat aku pertama kali berjumpa denganmu. Saat kita ada di pos satpam beberapa tahun lalu. Saat kau bercerita ngalor ngidul. Saat kau menemaniku jalan kaki karena tidak ada angkot.”

“Tapi itu kan sudah lewat.”

“Tapi itu yang kusuka. Masa itu.”

“Apa yang kau suka dari masa itu?”

“Caramu memperlakukanku. Kau memperlakukanku sebagai manusia.”

“Memang sekarang aku memperlakukanmu sebagai apa?”

Ada sesuatu dalam nada bicaramu yang membuatku makin serba salah.

I’m sorry tapi aku merasa akhir-akhir ini aku tidak lebih dari alat bagimu.”

“Alat? Kenapa kau bisa merasa begitu?”

“Mungkin karena kau hanya menyuruhku lakukan ini dan itu, tapi kau tidak pernah bertanya apa yang kurasakan. Dan pembicaraan kita setiap hari juga hanya berkisar masalah pekerjaan. You never ask me what happen to me.”

Rasanya lega bisa mengeluarkan isi hati walaupun untuk melakukannya membutuhkan keberanian luar biasa.

“Oh begitu.”

“Ya.”

“Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Tidak ada. Just wanna say that.”

“Oke.”

Dua hari kemudian, hakim mengetuk palu mengesahkan perceraian kami.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , , | Meninggalkan komentar

GAUN KEBAHAGIAAN

Bertemu idola atau orang yang diimpi-impikan itu rasanya selangit. Itulah yang kurasakan saat berhadapan muka dengan muka dengan Miss Rane Lee. Seorang perancang busana pernikahan yang terkenal.

Pertemuan tidak sengaja itu terjadi saat aku diundang untuk meliput sebuah acara pernikahan pesohor untuk majalah di mana aku bekerja. Di sana aku melihat banyak orang terkenal datang dan salah satunya adalah Rane Lee.

Tentu saja tidak kusia-siakan kesempatan ini untuk membuat janji wawancara dadakan.

“Permisi, Miss Rane Lee,” kataku pada beliau yang sedang berdiri di sudut ruangan sendirian, menikmati makanan ringan.

“Ya.”

Aku memperkenalkan diri dan majalah tempatku bekerja dan meminta kapan bisa wawancara.

“Oh, sekarang saja. Kalau kamu tidak keberatan.” Jawabnya.

“Sekarang?”

“Iya, kamu bawa alat-alatnya kan? Maksud saya alat perekam dan lain sebagainya.”

“Oh iya.”

“Sebentar kita ke ruang VVIP di sebelah saja. Di sana suasananya lebih private, kita bisa wawancara dengan tenang.”

“Baik, miss.”

Aku mengikuti Miss Rane Lee keluar dari ruang pesta menuju sebuah ruangan kecil di sebelahnya yang disebutnya ruang VVIP.

“Silakan masuk,” katanya.

“Terima kasih.”

“Nah, mau wawancara apa?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

Otakku segera berputar mencari bahan wawancara. Terus terang ini wawancara dadakan dan aku juga belum mendapat persetujuan dari pimpinan redaksi untuk mengadakan wawancara atau memuat hasil wawancara ini.

Jadi aku mulai saja wawancara dengan pertanyaan standar. Biodata, kesibukan, rencana ke depan. Semua pertanyaan itu dijawab Miss Rane Lee dengan lancar dan nada suara yang menyenangkan. Ah, Miss Rane Lee memang terkenal dekat dengan wartawan.

“Kamu beruntung bisa wawancara saya sekarang,” kata Miss Rane Lee setelah kami wawancara cukup lama.

“Kenapa, miss?”

“Karena sebentar lagi saya tidak mau menerima janji wawancara lagi.”

“Kenapa?”

“Ini off the record ya. Saya sedang mengajukan perceraian dari suami saya. Dan saya tahu itu pasti akan jadi berita besar. Tapi saya tidak mau masalah perceraian saya itu diekspos.”

“Hah?”

“Kaget?”

“Iya.” Untunglah aku cukup bisa menahan lidahku untuk tidak bertanya alasan kenapa mereka bercerai. Itu kan masalah pribadi mereka. “Apakah itu berarti miss akan berhenti merancang desain baru karena sibuk mengurus perceraian?”

“Entah ya.”

“Sayang sekali kalau miss sampai berhenti menciptakan desain baru. Saya suka gaun yang miss buat. Saya juga senang melihat orang-orang tersenyum bahagia mengenakan gaun yang miss buat.”

“Ya, orang-orang bilang gaun yang saya buat itu gaun kebahagiaan.”

“Ya, benar.”

“Tapi tragis ya, saya menciptakan gaun yang membuat orang bahagia, tapi tidak bisa menciptakan gaun yang membuat saya sendiri bahagia.”

Aku tertegun mendengarnya.

“Kamu tahu sebenarnya istilah gaun kebahagiaan itu tidak ada. Yang membuat kamu bahagia itu bukan gaun yang kamu pakai, tapi hati kamu saat mengenakannya.”

Aku mengangguk.

“Seandainya saja gaun bisa memberi kebahagiaan, saya akan menciptakan satu gaun yang membuat saya bahagia jadi saya tidak usah merasa sedih seperti sekarang.”

Ekspresi mukanya berubah. Dia tampak sedih.

One day, kalau wawancara ini mau kamu muat, tolong masukkan kata-kata saya tadi.”

Aku mengangguk.

“Nah, ada lagi yang mau ditanyakan?”

Aku menggeleng. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

“Kalau begitu mari kita masuk lagi.”

Miss Rane Lee bangkit dan keluar, sementara aku masih terbengong-bengong sendirian sambil merenungi kata-katanya, yang membuat kamu bahagia itu bukan gaun yang kamu pakai, tapi hati kamu saat mengenakannya.

            Ya, sehelai gaun saja tidak bisa membeli kebahagiaan itu. Pelan-pelan aku membereskan peralatanku dan bangkit menuju pintu keluar. Rasanya malam ini sudah cukup aku meliputnya, sekarang waktunya pulang.

Dipublikasi di Cerpen | Meninggalkan komentar

NASIB SANG ALAT

Image

“Halo?”

“Halo, pak Supri?”“Iya. Siapa ini?”

“Pak, ini saya Sarimin. Tolong saya, pak.”

“Kenapa Min? Kamu kenapa?”

“Saya di kantor polisi pak. Saya dituduh membunuh Pak Bejo.”

“Astaga …”

“Tolong saya, pak. Saya enggak mau dipenjara. Saya enggak bersalah.”

“Gimana saya bisa tolong kamu, Min?”

“Bapak jadi saksi saya yang meringankan kalau saya tidak bersalah.”

“Kenapa saya harus saya?”

“Karena bapak kan tokoh agama. Bapak enggak mungkin bohong. Polisi pasti percaya kesaksian bapak. Tolong saya pak. Tolong ….”

“Sebentar … sebentar. Sebelum saya setuju menolong kamu, coba ceritakan dulu kronologisnya.”

“Saya … saya melakukan seperti yang bapak perintahkan. Saya datangi Pak Bejo di rumahnya, saya langsung tusuk dia. Dua kali. Dia langsung mati.” 

“Bagus.”

“Nah, sekarang tolong saya, pak. Tolong jelaskan sama polisi kalau saya enggak bersalah.”

“Enggak bersalah gimana Min, wong kamu yang bunuh Pak Bejo.”

“Tapi saya kan cuma melakukan perintah bapak. Kata bapak, Pak Bejo itu setan, makanya dia harus dibunuh.”

“Itu ‘kan kata saya … tapi kata polisi kan lain. Kata polisi, Pak Bejo itu warga negara yang baik, calon anggota DPR yang terhormat …”

“PAK! Saya enggak bersalah pak. Bapak sendiri yang bilang kalau saya cuma alat. Bapak sendiri yang bilang kalau saya itu seperti pisau. Pisau enggak bisa disalahkan kalau dia memotong tangan orang. Yang mesti disalahkan itu orang yang memegang pisau, kenapa dia memotong tangan bukan daging. Begitu ‘kan kata bapak sama saya.”

“Betul …”

“Bapak juga bilang kalau saya ditangkap polisi, bilang saja saya pisau. Saya tidak bersalah. Yang bersalah itu orang yang memegang pisau.”

“Betul …”

“Tapi polisi enggak percaya sama saya pak … mereka mau penjarain saya.”

“Min … Min. Kamu itu memang pisau. Kamu tidak bersalah. Yang salah itu orang yang menyuruh kamu membunuh Pak Bejo.”

“Itu berarti …”

“Iya. Saya. Tapi Min, kamu suka nonton film pembunuhan kan?”

“Iya pak.”

“Kamu suka liat kalau di film-film, abis ada orang yang bunuh orang lain pakai pisau, pisaunya dikemanain?”

“Dibuang pak.”

“Betul banget. Nah sekarang kamu sebagai pisau saya buang. Maaf Min, tapi inilah nasib kamu sebagai pisau. Kamu harus dibuang.”

“Pak? Maksudnya?”

“Makasih Min sudah jadi pisau saya. Sekarang saya buang kamu ke penjara.”

“PAK ….”

Klik.

Bandung 17 November 2012

Dipublikasi di Cerpen | Meninggalkan komentar

PELARI

Kabar tentang seorang pelari aneh yang akan melewati kotaku membuat semua orang di kotaku heboh. Aneh karena dia terus berlari tanpa berhenti. Aneh karena dia sudah berlari selama setahun penuh. Aneh karena dia berlari tanpa tujuan. Aneh karena dia berlari kemana saja kakinya membawanya.

Sebagai wartawan aku ditugaskan untuk mewawancarai sang pelari aneh itu. Berikut adalah hasil wawancara yang kulakukan setelah sang pelari itu setuju memberikan waktu larinya yang berharga.

AKU: Maaf, pak saya wartawan dari harian GetAir. Bisa minta waktu wawancara sebentar?
PELARI: Silakan.
AKU: Bisa sebutkan nama lengkap bapak?
PELARI: Saya? Siapa saya? Saya sudah lupa nama saya.
AKU: ???
PELARI: Semakin saya berlari semakin saya lupa siapa diri saya.
AKU: Kenapa bapak berlari?
PELARI: Karena saya ingin lupa.
AKU: Maksudnya?
PELARI: Saya berlari karena ada hal yang ingin saya lupakan.
AKU: Apa saja itu pak?
PELARI: Banyak. Saya ingin lupakan diri saya sendiri, keluarga saya, pacar saya, semuanya. Saya ingin lupakan semuanya.
AKU: Kenapa, pak?
PELARI: Kenapa? Karena buat saya hidup ini sucks.
AKU: Bisa jelaskan kenapa pak?
PELARI: Kenapa? Kenapa? Saya sudah tidak bisa mengingatnya lagi.
AKU: Sampai kapan bapak akan terus berlari?
PELARI: Sampai saya lupa semuanya.
AKU: Kemana bapak akan berlari?
PELARI: Kemana saja kaki saya melangkah. Yang penting sejauh mungkin. Sejauh yang saya bisa. Karena semakin jauh saya berlari, semakin saya lupa. Saya benar-benar ingin lupa. Lupa. Lupa.
AKU: O ya kenapa bapak tidak pernah berhenti berlari?
PELARI: Karena kalau saya berhenti, ingatan itu akan muncul lagi. Ingatan yang ingin saya lupakan. Saya harus terus berlari agar saya lupa. Sekarang dengan Anda mewawancarai saya seperti ini ingatan saya mulai kembali. Saya tidak bisa membiarkannya. Saya harus melupakannya. Saya harus kembali berlari. Minggir. Saya harus lari. Saya harus lupa.

Sampai di sini saja hasil wawancaraku. Si pelari bangkit dan kembali meneruskan larinya. Sementara aku hanya terbengong-bengong memandangi orang aneh itu menghilang dari hadapanku.

Dipublikasi di Cerpen | 1 Komentar

PERCAKAPAN DENGAN MAUT

Percakapan ini terjadi di suatu malam di musim panas. Saat cuaca benar-benar panas, sehingga malam yang dingin pun tidak lagi dingin. Maut datang dan mengajakku keluar, menghindari panas yang sepertinya akan membunuhku.

Berdua kami menyusuri jalanan yang sudah sepi, sambil mengobrol layaknya dua orang sahabat lama.

Maut: Kau tahu kenapa banyak orang yang mati akhir-akhir ini?
Aku : Kenapa?
Maut: Karena mereka ingin mati.
Aku : Kenapa?
Maut: Banyak sebab. Kau mungkin sering mendengarnya. Masalah ekonomi, masalah keluarga. Tapi bukan itu masalah utamanya. Masalahnya adalah karena mereka memang ingin mati.
Aku: Kau ikut berperan bukan?
Maut: Aku? Aku hanya menjalankan tugasku.
Aku : Ya. Membunuh.
Maut: Jangan salah. Aku bukan pembunuh. Aku adalah pencabut nyawa.
Aku : Apa bedanya. Sama saja.
Maut: Beda. Pembunuh, punya makna sepertinya aku penjahat. Sedang pencabut nyawa kedengaran sedikit lebih bonafid.
Aku : Terserah kau saja.
Maut : Hahaha. Kau tidak setuju, ya?
Aku : Buatku tidak ada bedanya. Sama-sama menghilangkan nyawa.
Maut: Kau tidak mengerti. Aku adalah pencabut nyawa. Artinya ada orang-orang yang memang sudah ditetapkan untuk mati dan tugasku adalah melaksanakan ketetapan itu.
Aku : Ketetapan ya…
Maut : Ya begitulah. Kurasa kau juga sudah tahu kalau semua orang sudah ditetapkan untuk mati.
Aku : Ya.
Maut : Tapi satu hal yang mungkin kau tidak tahu. Aku bisa mempercepat kematian itu.

Aku diam saja.
Mempercepat kematian….
Aku merenungkan kata-kata Maut barusan.
Mempercepat kematian…

Maut : Pada dasarnya manusia itu mempunyai keinginan untuk mati. Dan yang perlu aku lakukan hanyalah sangat sederhana. Aku memancing keinginan untuk mati itu supaya muncul dan semakin membesar. Kalau sudah cukup besar, keinginan untuk mati itu akan dengan senidirinya membunuh orang itu. Sederhana saja.
Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen | 6 Komentar

BALADA PRIA HIDUNG BELANG

Tempat pelacuran di mana-mana sama saja. Mau di gang-gang sempit. Mau di hotel-hotel berbintang. Mau di pinggir jalan sekalipun. Sama saja. Yang membedakan hanya pelayanannya saja.

Satu malam lagi aku menjelajahi tempat pelacuran di negeri ini. Kalau dihitung-hitung sudah banyak uang dan waktu yang kuhabiskan untuk melakukan pesiar malam seperti ini. Tapi aku tidak akan pernah berhenti sampai aku menemukan dia. Cinta sejatiku.

Semuanya bermula sepuluh tahun yang lalu. Jadi artinya sudah sepuluh tahun, hari demi hari aku menjelajahi tempat-tempat pelacuran di negeri ini. Sepuluh tahun. Tiap malam berkeliling. Pindah dari satu wanita ke wanita lain. Semua demi menemukan dia. Cinta sejatiku.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen | Meninggalkan komentar

Telepon Akhir Hayat

Kriing…kriing….kriing….

Iya…iya…iya.

Siapa sih orang iseng yang menelepon jam segini. Sudah hampir jam 1 subuh. Nggak tau apa kalo orang juga butuh istirahat jam segini.

Kriing…kriing….kriing….

Iya…iya…iya.

Aku melirik sekilas LCD handphone-ku, ingin tahu siapa sih orang iseng yang sudah mengganggu jam tidurku yang berharga ini. Aku melihat sederatan angka yang tidak aku kenal punya siapa.

‘Ya.’

Dengan suara setengah bosan aku menjawab panggilan orang iseng ini.

‘Selamat pagi.’ Balas orang di seberang sana. ‘Maaf mengganggu tidur Anda.’ Suara seorang pria. Dalam dan berat.

Aku berusaha mengenali suara siapa ini. Tapi karena masih setengah mengantuk, aku sulit mengenali suara siapa itu.

‘Siapa ini?’

‘Maaf. Tapi Anda tidak kenal saya. Saya juga tidak kenal Anda. Saya memencet nomor secara acak dan akhirnya terhubung dengan Anda.’ Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Cerpen | 4 Komentar